Terbangun Dalam Pelukan

Kitschyz
6 min readFeb 18, 2022

Kata orang, jangan terlalu cepat menawarkan tubuhmu kalau ingin hubunganmu berhasil. Tapi bagaimana kalau dari awal tidak ada hal lain yang bisa ditawarkan di dalam sebuah hubungan selain tubuh? Dan kelaminmu? Bagaimana kalau obrolan demi obrolan, pertemuan demi pertemuan, semua berakhir dengan derita menahan nafsu. Berakhir dengan derita ingin saling merobek pakaian masing-masing dan saling menunggangi. Bagaimana kalau ketertarikan yang dirasakan semua murni berdasarkan nafsu?

Hari Sabtu pagi, jalanan Jakarta Selatan lowong berbanding terbalik dengan 12 jam sebelumnya di Jumat petang saat semua mobil berebut untuk buru-buru sampai di tujuan mereka. 12 jam sebelumnya hanya ada kupu-kupu di perut, dan kelamin saya berkedut pelan membayangkan bagaimana saya akan dipeluk, dicium, dan digigit oleh dia. Sudah satu tahun dan berahi saya terhadap dia belum berkurang.

Namun pagi ini, setelah lima orgasme yang saya dapatkan dan ngilu di selangkangan karena tempaan yang lumayan kasar, otak saya tidak dapat ditahan untuk tidak bertanya kenapa hubungan kami berdua tidak bisa lebih dari sekedar bersama selama beberapa jam di atas tempat tidur untuk saling memuaskan kelamin masing-masing.

Jakarta Sabtu pagi itu terlalu lowong, sudah beberapa kilometer dan saya belum bertemu lampu merah, memberikan kesempatan untuk otak saya berpikir. Tadi malam pertama kalinya saya menginap di apartemen dia, pertama kalinya saya terbangun di pelukan dia, dan rasanya itu mengubah perjanjian yang sudah kami sepakati dan hubungan yang sudah kami jalani. Tapi, apakah hanya saya yang merasakan itu? Atau dia juga? Mungkin segelas kopi akan menjernihkan kepala saya.

Tadi malam dia yang menawarkan untuk menginap, katanya sudah terlalu malam dan saya pasti capek. Saya setuju karena kegiatan sebelumnya terlalu ganas. Kami sempat rehat dua minggu dan rasanya syahwat seperti tercabik-cabik, memaksa kami untuk menjadi seperti dua binatang di tempat tidur, di kamar mandi, di meja kerja, dan di balkon apartemennya. Sepertinya kalori yang terbakar semalam cukup untuk membuat saya bolos yoga selama tiga hari ke depan.

Satu tahun lalu kami pertama bertemu di sebuah kafe di kawasan Kemang, di hari Minggu pagi. Mungkin dia bukan pria tipe saya, tapi jelas dia pria yang akan membuat perempuan melirik dan bergumam tentang fisiknya yang menarik. Di pertemuan pertama kami dia tidak merayu saya, saya juga tidak mengeluarkan sinyal-sinyal apapun. Kami berdua sama-sama bercerita tentang pekerjaan kami dengan semangat, cerita tentang pengalaman kami mengunjungi negara-negara di Eropa, dan tentang kesusahan kami untuk menjalani hubungan yang stabil. Obrolan standar pria dan perempuan di pertemuan pertama, di antara keriuh rendahan sebuah kafe untuk kalangan atas.

Saat sarapan dan kopi kami sudah habis, dia melirik jam tangannya dan bertanya kalau saya mau ikut ke apartemennya. Dia tidak menjelaskan apapun alasannya kenapa ingin mengajak saya ke apartemennya dan saya menjawab hanya dengan mengangkat bahu dan mengangguk. Saya tidak bisa menolak tawaran untuk merasakan kenikmatan di hari Minggu dengan seorang pria menarik yang baru saya kenal. Meskipun di detik saya menganggukan kepala, hati saya berkata bahwa ini adalah akhir dari segala kemungkinan yang akan terjadi dalam hubungan kami berdua.

Waktu itu saya baru memulai sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang saya sukai di mana saya mampu memberikan semua waktu saya untuk pekerjaan itu. Saya pikir saat itu saya tidak siap untuk memiliki sebuah hubungan. Saya tidak siap untuk membagi waktu mengurusi perasaan pasangan saya. Yang saya inginkan waktu itu hanya melepas penat setelah terus-terusan bekerja. Waktu itu saya tidak punya resiko kehilangan apapun, termasuk kehilangan harapan untuk sebuah hubungan yang serius dengan pria ini.

Saya membelokkan mobil ke arah Kemang, melewati kafe tempat kami pertama bertemu dan sempat terbersit untuk membeli kopi saya dari kafe itu. Tahu kan? Hanya untuk sekedar menjadi masochist, merasakan sakit dari kenangan. Lho? Kenapa sakit? Katanya sudah setuju dengan komitmen untuk hanya menjadi pelampiasan nafsu satu sama lainnya? Apa hanya karena tadi pagi terbangun di pelukan dia dan sekarang jadi ada perasaan? Sialaaaaaaannn!

Memangnya benar ya, kalau di hubungan seperti ini yang perempuan akan lebih rapuh? Rapuh merasakan perasaan hanya karena hal kecil? Saya menarik nafas dan memutuskan untuk membeli kopi dari drive thru McDonald’s dan sembari menunggu kopi disiapkan, saya melirik ke pergelangan tangan dan melihat lebam bekas dari cengkeramannya semalam. Lebam-lebam di tubuh saya setiap habis bertemu dia bukan hal baru, malah hampir selalu ada. Pagi itu, bukan hanya lebam di pergelangan tangan, tapi ada juga di dada dan pundak saya, dan bekas cakaran di paha.

Saya kembali menjalankan mobil sambil menyeruput kopi hitam panas. Bagaimana kalau saya sampai terbawa perasaan dan akhirnya mengharap lebih? Atau saya memang pantas mengharap lebih? Duh, kenapa jadi berpikir sebanyak ini hanya karena terbangun di dalam pelukannya? Apakah saya siap dan punya waktu untuk bertanya-tanya seperti ini?

Saya selalu bisa meninggalkan dia, selalu bisa memutuskan hubungan yang hanya disatukan oleh nafsu ini, selalu bisa untuk tidak membalas ajakan bertemu di apartemennya, selalu bisa untuk tidak mengirimkan pesan meminta bertemu di apartemennya. Mungkin sekarang waktu yang tepat, sebelum saya membuang-buang waktu dan perasaan mempertanyakan hal-hal seperti ini. Tapi apakah saya selemah itu? Bisa merubah komitmen yang telah dijalani selama setahun, sekali lagi, hanya karena pagi ini terbangun di dalam pelukannya?

Apakah benar semua hubungan harus memiliki tujuan? Kalau seperti itu, tentu saja hubungan saya dan dia tidak memiliki tujuan. Sebuah hubungan yang hanya bergantung dari pertemuan demi pertemuan, kepuasan demi kepuasan, apa pantas dibilang memiliki tujuan? Saya menginjak gas mobil dalam-dalam, ingin segera sampai rumah dan mungkin mandi air hangat akan menjernihkan pikiran saya.

Tak lama mobil saya bertemu lampu merah. Sepasang tukang minta-minta yang sudah berumur menghampiri jendela mobil, istri yang buta dituntun oleh suaminya. Pasangan, apakah itu yang dibutuhkan oleh setiap manusia? Apa yang saya inginkan dari seorang pasangan? Apa saya mau dia yang jadi pasangan saya? Tentunya akan menjadi cerita yang romantis kalau nantinya kami menyadari bahwa kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lainnya dan kami menjadi pasangan seutuhnya. Di mana kami bisa bergandengan tangan di depan umum, bertemu di tempat umum, saling bercerita tentang hari-hari kami. Apakah kami bisa menjadi pasangan seutuhnya seperti itu?

Saya teringat tatapan matanya terhadap saya setiap kami bertemu. Tatapan dingin dan bengis, tatapan yang seperti siap menghabisi saya, yang herannya selalu mampu membuat berahi saya berkobar dan bukannya ketakutan. Lalu saya mencoba mengingat tatapan dia tadi pagi saat kami sama-sama membuka mata dan dia bertanya jam berapa saya mau pulang. Belum sempat saya menjawab dia sudah memeluk saya dan mengarahkan tangannya untuk mengelus kelamin saya. Tidak, saya tidak ingat bagaimana tatapannya tadi pagi, yang saya ingat hanya bagaimana rasa jari-jarinya bermain di bawah sana.

Sumpah waktu saya memakai baju tadi di apartemennya, sembari dia membuka laptop di atas tempat tidur, saya tidak merasakan kebimbangan ini. Waktu saya keluar dari apartemennya sambil berkata “see you soon.” Juga tidak ada kebimbangan apa-apa. Kebimbangan itu baru ada saat saya sudah berada di belakang setir mobil dan melaju di kosongnya jalanan Jakarta di Sabtu pagi. Apa yang akan terjadi kalau setiap hari, setiap waktu jalanan Jakarta sekosong ini? Berapa banyak perasaan dan pertanyaan yang bisa datang dan melahirkan kebimbangan?

Apa saya akan punya waktu untuk memikirkan kebimbangan saya di hari Senin pagi? Saat saya harus buru-buru datang ke kantor. Apa akan ada waktu untuk saya mengingat setiap perlakuan dia dan menebak-nebak, saat saya berjibaku di antara macetnya Jakarta di jam 6 sore hari Senin nanti? Apa saya mau merasakan kebimbangan seperti ini saat saya harus menyelesaikan artikel menjelang deadline bulanan? Apa saya siap untuk memiliki perasaan untuk pria yang mungkin tidak saya kenal?

Apa yang saya tahu mengenai dia? Saya tahu dia sedang mencari investor untuk startup yang dia jalankan bersama temannya, saya tahu dia baru kembali ke Indonesia beberapa tahun lalu, saya tahu dia tidak merokok dan minum alkohol karena dia hanya memilih satu vice, yaitu seks. Selain itu, apa yang saya tahu? Saya tidak tahu apa makanan favoritnya, saya tidak tahu apa lagu kesukaannya, saya tidak tahu dia punya berapa saudara kandung, terlalu banyak hal yang saya tidak tahu tentang dia meskipun kami sudah kenal selama satu tahun dan bertemu hampir tiap minggu. Lalu bagaimana saya bisa tahu kalau dia merasakan kebimbangan yang sama seperti saya rasakan sekarang hanya karena tadi pagi kami terbangun saling berpelukan?

Lima menit lagi saya sampai di rumah dan tidak sabar rasanya untuk mengguyur tubuh dengan air hangat. Semoga air hangat itu akan menghapus kebimbangan saya karena saya tidak punya waktu dan tidak mau memberikan ruang di hidup saya untuk bertanya-tanya seperti ini. Ini saatnya saya mengakhiri hubungan dengan dia karena ini terlalu beresiko. Sudahlah, kenikmatan bisa dicari dari orang lain atau hal lain. Dan sepertinya kenikmatan yang kami rasakan setahun kemarin tidak akan bisa sama lagi kalau saya sudah bimbang seperti ini.

Mobil saya masuk ke garasi rumah dan saya mematikan mesin mobil. Tangan saya merogoh ponsel di dalam tas sekedar untuk melihat mungkin ada pesan dari teman kantor mengenai jadwal wawancara untuk hari Senin, tapi yang muncul adalah notifikasi dengan nama dia di ponsel saya.

“I can’t wait to see you again,” itu pesan dari dia.

Ini tulisan tentang seorang pria yang datang di hidup saya delapan tahun lalu, di tengah riuh rendahnya kehidupan, membuat saya tidak bisa berpikir jernih. Tapi akan selalu membuat saya tersenyum hingga kapanpun. Sometimes all I think about is you.

--

--